Wednesday, January 16, 2008

Hukum Menyebutkan "Sayyidina Muhammad"

Lafadh “sayyidina” dalam bahasa arab maknanya ialah sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama berikut ini:
1). Al-Imam Muhyidin Abi Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad-Dimasqi rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah olehmu bahwa lafadh sayyid itu adalah gelar yang diberikan kepada orang yang paling tinggi kedudukannya pada kaumnya dan paling dimuliakan mereka. Lafadh ini diberikan pula bagi pimpinan dan orang mulia. juga lafadh ini diberikan kepada orang yang penyabar yang mampu menguasai kemarahan dan mampu mengendalikannya. Diberikan pula lafadh sayyid kepada dermawan, dan kepada raja (kepala negara). Juga lafadh ini diberikan oleh istri kepada suaminya. Dan terdapat banyak hadits memberikan istilah sayyid kepada orang yang mempunyai keutamaan.” (Al-Adzkar An-Nawawi, hal. 418, Fashlun fi Lafdlis Sayyid)


2). Al-Imam Majduddin Abus Sa’adat Al-Mubarak bin Muhammad Al-Jazari Ibnul Atsir rahimahullah menerangkan: “Kata As-Sayyid sebagai sebutan bagi Allah, diberikan pula sebagai panggilan bagi raja (kepala negara), orang yang terhormat, orang mulia, dermawan, penyabar, yaitu orang yang sabar menanggung gangguan yang menyakitkan kaumnya. Kata itu juga diberikan bagi suami, juga pimpinan dan orang yang dikedepankan dalam kalangan kaumnya…. (An-Nihayah jilid 2 hal. 418)
Dari keterangan dua ulama tersebut tahulah kita bahwa gelar as-sayyid adalah kehormatan bagi pihak yang digelari dengan kata tersebut. Adapun kenyataan bahwa sebagian orang memahami dilarang memberi gelar sayyidina Muhammad bagi Nabi shallallahu `alaihi wa sallam karena salam paham terhadap hadits Nabi berikut ini:

Dari Abdillah bin Asy-Syakhkhir, dia menceritakan bahwa ayahnya menceritakan: Datang seorang pria menghadap Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Pria tersebut menyatakan kepada beliau: “Engkau adalah sayyid Quraisy.” Maka Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan kepadanya: “Yang dikatakan as-sayyid itu adalah Allah.” Kemudian pria menyatakan lagi kepada beliau: “Engkau itu adalah orang yang paling utama omongannya dari kalangan mereka dan paling agung kedudukanmu. Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan: “hendaknya kalian menyatakan tentang aku seperti yang dikatakan oleh Allah (yakni sebagaimana Allah menggelari beliau, yaitu Nabiyullah dan Rasulullah) dan jangan sampai setan menyeret dia kepada tipu dayanya.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya jilid 4 hal. 24 – 25)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menolak untuk dikatakan sebagai sayyidu Quraisy. Sehingga dipahami oleh sebagian orang bahwa tidak boleh menyebut sayyidina Muhammad. Dan pemahaman yang demikian tidaklah tepat bila melihat kelengkapan hadits ini. Dari kelengkapan hadits ini sesungguhnya kita dapat mengerti bahwa yang beliau tolak adalah sikap memuji-muji yang melampaui batas dan yang demikian ini akan memberi peluang kepada setan untuk menyeret yang dipuji maupun yang memuji dalam perangkapnya. Al-Imam Abu Sa’adat Ibnul Atsir rahimahullah menerangkan tentang hadits tersebut: “Beliau memang sepantasnya menduduki posisi pimpinan. Tetapi beliau tidak suka disanjung di depannya dan beliau lebih suka tawadlu’ (berendah hati)).” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar jilid 2 hal. 417).
Jadi bukan karena beliau melarang pemberian gelar sayyid bagi beliau karena hadits Nabi shallallahu `alaihi wa sallam yang lainnya menegaskan tentang kedudukan beliau sebagai sayyid:

“Aku adalah sayyid (junjungan) anak Adam pada hari kiamat dan orang pertama yang terbuka kuburnya di hari kebangkitan dan orang pertama yang mensyafaati dan orang pertama yang disyafaati.” (Berkata Al-Imam As-Suyuthi dalam kitab beliau Jam’ul Jawami’ (Al-Jami’ul Kabir): “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu.”)
(Lihat Jami’ul Ahadits, As-Suyuthi jilid 2 hal. 190 hadits 4770)

Maka sesungguhnya mengucapkan sayyidina Muhammad, sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Ali dan selanjutnya adalah boleh, kecuali dalam doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam shalat, seperti shalawat Nabi dalam duduk at-tahiyyat. Nabi kita mengajarkan shalawat itu tanpa kalimat sayyidina Muhammad atau pun sayyidina Ibrahim. Maka kita tidak boleh menambahkan sayyidina ketika membaca shalawat tersebut karena beliau tidak mengajarkannya, sebab Nabi shallallahu `alaihi wa sallam telah bersabda:

“Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat.”

Al Ustadz Ja’far Umar Thalib

Thursday, January 10, 2008

Akhirnya...

Alhamdulillahirobbil'aalamiin...akhirnya perjuangan yang hampir se-tahun melamar Kerja Praktek saat saat ini akan terlaksana juga. Sehabis ujian akhir semester ini, Insya Allah saya berangkat juga ke PT. Newmont Nusa Tenggara untuk menjalankan tugas kuliah Kerja Parktek (KP). Setelah lama, baru saya sadar ternyata perjuangannya lumayan melelahkan untuk mendapat sesuatu yang lebih. Mudah-mudahan ini menjadi manfaat.
Tak sedikit saya minta untuk didoakan oleh kedua orang tua tercinta, kakak-kakak tersayang yang selalu support. Semua menjadi kegembiraan yang cukup menghapus kerutan di kening.
Yaaaahh, manusia cuma bisa berusaha. Jangan sampai lupa Allah pemegang keputusan di balik semua yang terjadi. Syukur kepada Allah yang utama, karena dengan syukur itu kita berharap akan dimudahkan untuk selanjutnya daam pelaksanaan Kerja Praktek tersebut.

Wednesday, January 9, 2008

Etika Berbeda Pendapat

Oleh :
Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan :
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Syaikh yang terhormat, banyak perbedaaan pendapat yang terjadi di antara para aktivis dakwah yang menyebabkan kegagalan dan sirnanya kekuatan. Hal ini banyak terjadi akibat tidak mengetahui etika berbeda pendapat. Apa saran yang Syaikh sampaikan berkenan dengan masalah ini ?

Jawaban.
Yang saya sarankan kepada semua saudara-saudara saya para ahlul ilmi dan praktisi dakwah adalah menempuh metode yang baik, lembut dalam berdakwah dan bersikap halus dalam masalah-masalah yang terjadi perbedaan pendapat saat saling mengungkapkan pandangan dan pendapat. Jangan sampai terbawa oleh emosi dan kekasaran dengan melontarkan kalimat-kalimat yang tidak pantas dilontarkan, yang mana hal ini bisa menyebabkan perpecahan, perselisihan, saling membenci dan saling menjauhi. Seharusnya seorang da’i dan pendidik menempuh metode-metode yang bermanfaat, halus dalam bertutur kata, sehingga ucapannya bisa diterima dan hati pun tidak saling menjauhi, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” [Ali-Imran : 159]

Allah berfirman kepada Musa dan Harun ketika mengutus mereka kepada Fir’aun.

“Artinya : Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut” [Thaha : 44]

Dalam ayat lain disebutkan.

“Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” [An-Nahl : 125]

Dalam ayat lain disebutkan.
“Artinya : Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka” [Al-Ankabut : 46]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Sesungguhnya, tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali akan mengindahkannya, dan tidaklah (kelembutan itu) luput dari sesuatu kecuali akan memburukkannya” [Hadits Riwayat Muslim dalam Al-Birr wash Shilah : 2594]

Beliaupun bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang tidak terdapat kelembutan padanya, maka tidak ada kebaikan padanya” [Hadits Riwayat Muslim dalam Al-Birr wash Shilah : 2592]

Maka seorang da’i dan pendidik hendaknya menempuh metode-metode yang bermanfaat dan menghindari kekerasan dan kekasaran, karena hal itu bisa menyebabkan ditolaknya kebenaran serta bisa menimbulkan perselisihan dan perpecahan di antara sesama kaum muslimin. Perlu selalu diingat, bahwa apa yang anda maksudkan adalah menjelaskan kebenaran dan ambisi untuk diterima serta bermanfaatnya dakwah, bukan bermaksud untuk menunjukkan ilmu anda atau menunjukkan bahwa anda berdakwah atau bahwa anda loyal terhadap agama Alah, karena sesungguhnya Allah mengetahui segala yang dirahasiakan dan yang disembunyikan. Jadi, yang dimaksud adalah menyampaikan dakwah dan agar manusia bisa mengambil manfaat dari perkataan anda. Dari itu, hendaklah anda memiliki faktor-faktor untuk diterimanya dakwah dan menjauhi faktor-faktor yang bisa menyebabkan ditolaknya dan tidak diterimanya dakwah.

[Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutanawwiah, Juz 5, hal.155-156, Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 198-200 Darul Haq]

Tuesday, January 8, 2008

Konsep Ketuhanan

Bagaimana konsep Ketuhanan dalam manhaj Salaf? pembuktian tentang adanya Allah? dimana Allah? juga di sebutkan dalam kitab suci bahwa Allah mempunyai Tangan, Betis dan Mata ?
Lantas apakah itu tidak menyerupai keadaan makhluk Nya? jika tidak serupa mengapa Allah menggunakan kata tangan dan semisalnya?

Jawab :
Saudara penanya semoga Allah merahmati anda, bahwa konsep ketuhanan menurut manhaj Salaf Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, adalah dengan mengenali Allah melalui pemberitaan dan bimbingan yang ada di dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Al Qur’an membimbing kita untuk mengenali Allah dengan melihat bukti-bukti kebesaran Allah dan Maha Sempurnanya Allah pada sifat-sifatnya melalui dua cara. Yaitu :

Yang pertama, dengan memperhatikan ayat-ayat kauniyah dalam bentuk tanda-tanda kekuasaan Allah yang tampak pada alam raya ini dan yang ada pada organ tubuh kita ini. Al Qur’an membimbing kita untuk menggunakan akal pikiran dalam memahami bukti-bukti kebesaran dan keagungan Allah yang ada di alam raya ini dan bahkan di diri kita.

Allah Ta’ala berfirman :

“Kami akan tunjukkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan kami di segala penjuru alam dan di diri mereka sendiri, sehingga menjadi jelas bagi mereka bahwa Allah itu adalah benar adanya. Tidakkah cukup bahwa Tuhanmu itu mempersaksikan atas segala sesuatu” (Fushilat : 53)

Yang kedua, dengan memperhatikan dan memahami ayat-ayat Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wa Sallam yang shohih yang menerangkan tentang sifat-sifat Allah dan membimbing kita untuk meyakini adanya sifat-sifat Allah itu sesuai dengan apa yang tertera dalam berita-berita tentang sifat Allah tersebut. Tanpa menyerupakan sifat-sifat itu dengan sifat-sifat makhluq yang manapun dan tidak pula menafikan sifat-sifat yang telah di beritakan oleh Allah dan Rasul Nya itu, dan juga tidak menyimpangkan makna ayat-ayat Qur’an dan Hadits-hadits Nabi shollallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wa Sallam yang memberitakan tentang sifat-sifat Allah itu kepada makna lain hanya karena merujuk kepada pertimbangan akal dan pikiran semata. Maka Allah Ta’ala telah memberitakan tentang dirinya dengan berbagai sifat-sifat Dzatiyah (sifat-sifat yang ada pada DzatNya dan tidak berkaitan dengan makhluq) dan Fi’liyah (sifat-sifat Allah yang berkaitan dengan makhluq).

Contoh sifat-sifat Fi’liyah adalah bahwa Allah mempunyai sifat cinta dan benci kepada makhluqNya, Allah cinta kepada orang-orang yang suka bertaubat kepadaNya atas dosa-dosa yang dia lakukan dan Allah benci orang-orang yang pandai bicara akan tetapi tidak mengamalkan apa yang dia ucapkan.
Contoh sifat-sifat Dzatiyah adalah bahwa Allah mempunyai wajah dan mempunyai kedua tangan, dan tangan Allah kedua-keduanya adalah kanan, dan Allah mempunyai dua mata, dan Allah mempunyai jari-jemari, dan Allah mempunyai telapak kaki, dan Allah mempunyai betis dan sebagainya. Semua sifat-sifat Allah itu adalah sebagian saja dari kesempurnaan diri-Nya yang Allah perkenalkan kepada kita dan tak terhingga banyaknya sifat-sifat Allah yang lainnya yang tidak disebutkan kepada kita karena rahmat Nya kepada kita.

Oleh karena itu tidak sepantasnya kita mempertanyakan mengapa Allah memperkenalkan sifat-sifatNya yang ini dan itu, kalau memang Allah itu tidak serupa dengan makhluq Nya. Karena pernyataan ini tidak masuk akal dan tidak bisa diterima oleh nalar yang sehat. Bukankah Allah itu mempunyai sifat “ada” ? dan makhluq pun mempunyai sifat “ada” ? nama sifat bagi Allah dan mahkluq Nya persis sama yaitu “ada”. Namun sifat “ada” pada Allah keadaannya berbeda dengan sifat “ada” yang ada pada makhluq. “Ada” nya Allah tidak berpermulaan dan tidak berakhiran, “ada” nya Allah karena tidak di adakan oleh pihak lain dan tidak akan di sirnakan keberadaanNya oleh pihak lain. Sedangkan “ada” yang ada pada makhluq asalnya tidak ada kemudian menjadi ada dan memerlukan pihak lain untuk mengadakannya. Di satu saat keberadaan makhluq itu akan berakhir dan di sirnakan keberadaannya oleh pihak lain.
Demikianlah sifat “ada” pada Allah dan sifat “ada” pada makhluq. Nama sifatnya sama, namun keadaan sifat itu berbeda antara keadaan yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula kita memahami sifat-sifat Allah yang lainnya. Yang terpenting disini ialah bahwa sifat Allah itu kita yakini adanya setelah diberitakan oleh Allah sendiri didalam Al Qur’an maupun didalam As Sunnah dan kemudian kita pahami berita itu dengan prinsip yang diajarkan oleh Allah, bahwa segala sifat Allah itu tidak serupa dengan apapun dan siapapun. Sifat-sifat Allah itu keadaannya tidak bisa di ukur oleh ukuran apapun sehingga dikatakan bahwa keadaan sifat-sifat Allah itu sesuai dengan kebesaran dan keagunganNya, sementara kebesaran dan keagunganNya tak terhingga.


Al Ustadz Ja'far Umar Thalib

Saturday, January 5, 2008

Menyentuh wanita, apakah membatalkan wudhu?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu ?

Jawaban:
Yang benar adalah bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu kecuali jika keluar sesuatu dari kemaluannya, hal ini berdasarkan riwayat shahih dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa Sallam, bahwasannya : Rasulullah mencium salah seorang istrinya lalu beliau melaksanakan shalat tanpa mengulang wudhu beliau.
Karena pada dasarnya tidak ada sesuatu pun yang membatalkan wudhu hingga terdapat dalil yang jelas dan shahih yang menyatakan bahwa hal itu membatalkan wudhu, dan karena si pria dianggap telah menyempurnakan wudhunya sesuai dengan dalil syar'i. Sesuatu yang telah ditetapkan dalil syar'i tidak bisa dibantah kecuali dengan dalil syar'i pula.

Jika ditanyakan bagaimana dengan firman Allah Ta'ala yang berbunyi : "…atau menyentuh perempuan." (An-Nisaa' : 43 dan Al-Maidah : 6)., maka jawabannya adalah Yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat ini adalah bersetubuh, sebagaimana disebutkan dalam riwayat shahih dari Ibnu Abbas.

Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/201.