Friday, August 17, 2007

Ibnul Mubarok...

Ibnul Mubarok : "Berapa banyak amalan kecil menjadi besar pahalanya karena niat dan berapa banyak amalan besar menjadi kecil pahalanya karena niat pula". (Jami Ulum wal Hikam, 12).

Thursday, August 16, 2007

Orang tua adalah...

Orangtua kita adalah orang yang wajib kita taati setelah taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jangan kita sia-siakan waktu kita hidup di dunia ini untuk hal yang membuat kita sampai lupa dengan kewajiban taat kepada orangtua kita.
Kebanyakan mahasiswa, saking asyiknya kuliah di kota yang megah dengan segala fasilitasnya yang lengkap menjadikannya tidak mau pulang kampung atau bahkan lupa sama kampung halamannya, padahal di sana, di rumah kampung halaman kita tinggal kedua orangtua kita yang selalu berusaha berdo'a untuk kebaikan kita. Tidak kenal lelah dan bahkan selalu menyembunyikan usaha dan upayanya untuk menyekolahkan kita. Tapi kita justru juga lupa dengan peluh keringat mereka.
Ridho Allah adalah ridho orangtua kita. Selama mereka adalah muslim, maka dalam diri muslimnya ada haknya yang harus dipenuhi oleh anak-anaknya. Kebahagiaan orangtua adalah ketika ia menyaksikan anaknya tumbuh menjadi orang yang berguna dan bermanfaat, walaupun diri mereka sendiri tidak sebaik kita. Itulah orangtua kita, ayah ibu kita, abi umi kita, abah mama kita, papa mama atau papi mami kita, semua pasti mengharap yang sama, yaitu kabaikan untuk anak-anaknya...

Jadi, kalau tiba saatnya waktu liburan buat pulang kampung, maka saudaraku pulanglah ke kampung halaman, ketemu dengan orangtua, obati rasa rindu mereka. Jangan kemudian kita dengan tibanya masa liburan kita berencana yang tidak bermafaat yamg membuat kita lupa pada orangtua kita...

Program Kreativitas Mahasiswa (PKM)

Alhamdulillah sebentar lagi masuk semester VII. Lumayan butuh waktu yang cukup lama buat mencapai angka VII itu di dunia perkuliahan mahasiswa, dan butuh kesabaran karena sangat banyak rintangan yang dihadapi. Sampai di akhir semester VI kemarin, ana sudah menyelesaiakn penelitian yang tergabung dalam kegiatan PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) yang dselenggarakan oleh DIKTI. Tapi, belum au hasilnya niii samapi sekarang. Katanya sih sedang diseleksi untuk tingkat universitas yang nanti selanjutnya akan dikirim ke DIKTI. Wah, termasuk penelitian ini juga memerlukan perjuangan yang lumayan melelahkan. Karena dalam proses pelaksanaannya, kelompok ana sampai harus ke Temanngung, Jawa Tengah untuk mengambil dan mencari data dan bahan. Alhamdulillah semua sudah dijalani dan sekarang ana dan kelompok ana tinggal menuggu hasil dari seleksi universitas. Yaa shohabiy mohon doanya ya, soalnya seandainya penelitian proposalnya jebol ke DIKTI terus disetujui, itu bisa dijadikan usulan untuk penelitian dimata kuliah Penelitian Teknik Kimia. Kan lumayan buat singkat-singkatin masa kuliah, ngurangin beban orang tua.
Oh iya, ana sampai lupa, judul penelitian ana tu, ” Kombinasi Limbah Pertanian dan Peternakan sebagai Alternatif Pembuatan Pupuk Organik Cair Melalui Proses Fermentasi Anaerob”. Ini diambil dari hasil kerjaan seorang pemerhati masyarakat yang coba-coba melakukan pemanfaatan terhadap beberapa bahan organik yang tidak termanfaatkan di sekitar kita untuk diolah menjadi bahan yang bernilai manfaat tinggi dengan tujuan membantu kesejahteraan masyarakat terutama para petani. Prosesnya cukup mudah dan sederhana serta sangat sedikti makan biaya, oleh karena itu dikatakan sangat membantu pihak petani. Karena dengan menggunakan pupuk ini, para petani dapat lebih memelihara tanaman mereka karena tidak adanya kandungan kimia dalam pupuk itu, kemudian harganya murah dan mudah dalam pembuatannya. Bahkan para petani bisa membuatnya sendiri dalam kelompok tani yang mereka bentuk sendiri. Efisien kan?
Tapi, itu semua kita kembalikan kepada siapa yang telah menciptakan bahan-bahan itu semua, sehingga termanfaatkan untuk kehidupan manusia, yaitu Allah yang Maha Memberi Rezeki.
Kenapa pupuk organik ini dinilai lebih bisa menyuburkan tanaman dibanding pupuk kimia? Banyak research yang telah dilakukan mengenai hal ini, yaitu ini lebih mengarah kepada konsep bagaimana pupuk organik itu menyuburkan tanah selaku media tumbuh bagi tanaman, sehingga tanaman dapat terpenuhi kebutuhan nutrisinya dari tanah yang subur tersebut. Sedang pupuk kimia, juga mempunyai konsep penyuburan tanaman, tetapi bedanya adalah ada pada cara. Prinsip pupuk kimia dalam proses menyuburkan tanaman, ialah dengan menyediakan unsur hara pada tanah yang nantinya akan di suplay ke tanaman, namun setelah unsur hara tanah tersebut dimakan oleh tanaman, maka tanah akan kehilangan unsur hara, sehingga tanah menjadi gersang dan kering setelah ditanami oleh tanaman. Itulah bedanya dengan pupuk organik, dimana pupuk organik akan selalu menyediakan unsur hara bagi tanah sebagai media tumbuh tanaman, tanpa harus menghabisi kandungan nutrisi pada tanah tersebut, sehingga tanah menjadi subur dan tanaman pun menjadi sehat.

Akhwat kampus...

Lembaga Dakwah Islam di kampus adalah satu elemen dakwah yang mempunyai peran penting dalam perkembangan kegiatan keagamaan di kampus. Karena begitu dekatnya ia dengan mahasiswa, sehingga bisa berbaur dan bergaul bersama-sama. Seharusnya ini yang dijadikan sebagai kesempatan emas bagi setiap lembaga dakwah di kampus/fakultas untuk bisa medakwahkan agama Islam ini, sehingga menjadi suatu kepribadian yang tertanam dalam setiap diri mahaiswa UII.

Namun, jika sudah terbentuk elemen dakwah itu, hanya saja tidak dibarengi dengan semangat dakwah kepada sesama, maka yang terjadi adalah lambang lembaga dakwah hanya menjadi pembeda secara dzohir saja terhadap akhlak dan perilaku mahasiwa antara yang aktif di lembaga dakwah dengan yang tidak. Artinya apa, yaitu beda antara yang menjadi aktivis dakwah dengan yang tidak, tidaklah menampakkan perbedaan yang begitu jelas. Mengapa demikian, sekali lagi adalah kurangnya kesadaran rasa semangat berdakwah, baik pada diri sendiri apalagi semangat berdakwah pada orang lain.

Seorang akhwat yang menggunakan busana muslimah yang sopan, dengan jilbabnya yang besar dan lebar seharusnya menjadikannya lebih terjaga dari pergaulan lawan jenis di zaman sekarang yang tidak lagi memperhatikan halal harom dalam pergaulan antar lawan jenis. Namun, dalam kenyataannya para wanita yang mengaku dirinya lebih suka disebut sebagai akhwat karena jilbabnya yang besar dibanding wanita lainnya juga belum bisa menampakkan batas pergaulannya dengan lawan jenis yang bukan mahromnya. Lalu apa guna jilbab yang besar, jika masih duduk dengan ikhwan berhadap-hadapan tanpa hijab sedikitpun? Apa jilbab besar hanya jadi busana yang lagi trend di masa sekarang ini, sehingga tidak perlu dibarengi dengan akhlaq seorang wanita dalam menjaga dirinya dari pergaulan laki-laki? Apa karena dalam satu rapat, karena saking memaknai arti rapat, maka seorang akhwat dengan jilbabnya yang besar juga tetap saja tanpa rasa malu duduk rapat-rapat dengan laki-laki yang bukan mahromnya? Dimanakah pembeda antara wanita yang disebut akhwat itu dengan wanita-wanita lainnya yang berbusana seksi, lantaran mereka belum bisa menjaga pergaulannya dengan laki-laki yang bukan mahromnya? Malu. Ana malu melihat wanita yang berbusana demikian, namun akhlaqnya masih belum menjadi cerminan dari busananya.

Lalu selanjutnya, apa yang melandasi mereka menggunakan busana serba lebar seperti itu? Padahal di zaman Nabi, kaum wanitanya sangat paham arti busana mereka ketika turun ayat untuk berhijab di hadapan kaum laki-laki yang bukan mahromnya. Para wanita tidaklah dilarang oleh Nabi untuk melaksanakan sholat di masjid, namun kaum wanita saat itu pun tau ketika mereka harus ke masjid, mereka harus dapat menjaga diri mereka dari laki-laki yang bukan mahromnya, walau hanya sekedar dari pandangan kaum laki-laki itu. Sehingga mereka pergi ke masjid dengan diakhirkan, kemudian pulang dengan diawalkan. Untuk apa? Tidak lain agar terhindar dari penglihatan laki-laki, karena saking malunya kaum wanita saat itu untuk bergaul dengan laki-laki yang bukan mahromnya.

Ana tidak mau membandingkannya dengan keadaan wanita (akhwat) zaman sekarang, karena tentunya sangat jauh. Memang zaman sekarang tidaklah sama dengan zaman Nabi, sehingga untuk bersikap demikian rasanya sangat berat atau tidak mungkin dilakukan. Tapi itu bukan menjadi alasan. Yaa akhwatiy, cobalah untuk kembali pada maksud dari kalian memakai busana yang sopan itu, agar sesuai antara dzohir dan batinnya. Apa susahnya, jika ada rapat, kita cari tempat yang tidak menimbulkan fitnah, yang ada hijabnya demi menjaga diri dari pergaulan dengan laki-laki yang bukan mahrom. Sedangkan dalam Al-qur’an telah Allah jelaskan/memerintakan bagi kaum laki-laki dan perempuan untuk saling menundukkan pandangan.

Ini adalah realita yang seharusnya setiap muslim yang melihatnya menjadi cemburu, yaitu cemburu seorang muslim karena melihat saudara muslimnya yang lain melakukan suatu kemaksiatan...

Buat para wanita...

Dari Asma’ binti Yazid al-anshoriyyah, ia dating kepada Nabi shollallahu ’alaihi wasallam saat beliau berada di tengah-tengan Shohabatnya, seraya berkata : “Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, wahai Rasulullah. Aku utusan para wanita kepadamu. Ketahuilah diriku sebagai tebusanmu bahwa tidak seorang wanita pun yang berada di timur dan barat yang mendengar kepergianku ini melainkan dia sependapat denganku. Ssungguhnya Allah mengutusmu dengan kebenaran kepada kaum pria dan wanita, lalu kami beriman kepadamu dan kepada Rabb-mu yang mengutusmu. Kami kaum wanita dibatasi; tinggal di rumah-rumah kalian, tempat pelampiasan syahwat kalian da mengandung anak-anak kalian. Sementara kalian, kaum pria, dilebihkan atas kami dengan sholat Jum’at dan berjama’ah, menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah, Haji demi haji, dan lebih utama dari itu ialah jihad fii sabilillah. Jika seorang pria dari kalian keluar untuk berhaji, berumrah atau berjihad, maka kami memelihara harta kalian, membersihkan pakaian kalian dan merawat anak anak kalian. Lalu apa yang bias membuat kami bisa mendapatkan pahala seperti apa yang kalian dapatkan, wahai Rasulullah?”. Mendengar hal itu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menoleh kepada para Sahabatnya, kemudian bertanya: “Apakah kalian pernah mendengar perkataan seorang wanita yang lebih baik dari wanita ini dalam pertanyaannya tentang urusan agama?” Mereka menjawab: “Wahai Rasulullah, kami tidak menyangka ada seorang wanita yang mendapat petunjuk seperti ini”. Lalu Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menoleh kepadanya seraya berkata: “Pergilah wahai wanita, dan beritahukan kaum wanita di belakangmu bahwa apabila salah seorang dari kalian berbuat baik kepada suaminya, mencari ridhonya dan menyelarasinya, maka pahalanya menyerupai semua itu”. Kemudian wanita ini berpaling dengan bertahlil dan bertakbir karena gembira dengan apa yang disabdakan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. (HR ‘Abdurrazaq. Sebagian ulama lainnya mendhoifkan).

Hasan Al Bashri...

Hasan Al Basri : "Hai anak Adam, siangmu ibarat tamu bagimu, maka bersikap baiklah
kepadanya. Jika kamu bersikap baik kepadanya, ia akan pergi dengan ucapan terima kasih.
Namun, jika sebaliknya ia akan pergi sambil mengumpatmu. Begitu juga dengan malammu".
(Al Bayan wat Tabyin : 3/83).

Thursday, August 9, 2007

Untuk Para Tholabul 'Ilm

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokaauh
Ustadz DR. Ali Musri (lulusan S3 madinah) menasehatkan pada segenap tholabul ‘ilm tentang masalah fitnah ini, ia mengatakan hendaknya tholabul ‘ilm mengetahui posisi dirinya sebagai tholabul ‘ilm. Tau apa yg sedang ia butuhkan untuk agamanya, mana yg lebih utama di cari, yaitu ilmu din ini. Bukan mencari-cari kesalahan orang, apalagi ustadz, yg tidak selevel dengannya.

Adapun perkara fitnah/tuduh-tuduhan antar ustadz di jogja khususnya, itu adalah perkara yg perlu pendalaman khusus untuk membahasnya. Terutama, kita hendaknya harus cukup ilmu dulu baru bisa masuk dlm wilayah itu. Jika belum cukup ilmu, maka tuntut ilmu dulu yg lebih utama, baru ttg fitnah itu jika diperlukan baru di bahas. Selama ustadz yg ada sekarang ini masih menjunjung manhaj salaf dalam mendakwahkan agama Islam ini, maka wajib bagi kita untuk menghormatinya dan mengambil ilmu yg bermanfaat dari padanya. Kalaupun ada kesalahan yg tampak oleh kita, kita sudah sepatutnya mengingat bahwa para ustadz juga adalah manusia biasa, bisa salah bisa benar. Maka, jika kita mampu untuk megingatkannya dari kesalahannya, maka lakukanlah, jika kita tidak mampu, maka sembunyikan aibnya, ambil yg bermanfaat darinya, serta berusaha menjauhkan diri dari perkara2 yg menyangkut fitnah dengan tidak memancing-mancing pembicaraan tentang fitnah itu.

Kenapa kita harus cukup ilmu dalam perkara fitnah ini?
Sayaikh Al ‘Utsaimin telah mengajarkan kepada umat Islam adap dalam menghadapi/mengatasi perkara seputar fitnah dan perpecahan umat. Ada prosedur yg harus di lalui oleh seseorang sebelum ia men-tahdzir (menetapkan)/menuduh orang lain jika terjadi kesalahan pada orang itu, diantaranya beliau rahimahullah menjelaskan :
1. Tabayyun wa tatsabut (klarifikasi ttg fitnah yg ada pada sesorang itu).
2. Munaqosah Ilmiyah (pembahasan secara ilmiah ttg fitnah itu) dalam rangka Iqomatul Hujjah (menegakkan hujjah atas orang itu).
3. Mentahdzir (menetapkan/menuduh orang tersebut, apakanh ia sesat, ahlul bid’ah, kaafir, dll). Pada proses yg ke-3 ini, dilakukan setelah orang yg bersalah itu telah dinasehatkan dulu dan diperintahkan untuk bertobat atas kesalahannya itu (jika terbukti salah), baru kemudian orang lain bisa mentahdzir nya.
Demikian yg Syaikh jelaskan.

Adapun yg terjadi sekarang ini dikalangan para ustadz adalah kurangnya tabayyun (3 proses di atas). Para ustadz terlalu cepat dalam memberi keputusan (mentahdzir) ustadz lainnya tenpa melakukan proses-proses di atas.
Oleh karena cara yg di tempuh dalam menghadapi fitnah itu adalah berat, maka diwajibkan atas kita untuk berilmu terlebih dahulu sebelum melakukan 3 proses di atas. Jika kita belum berilmu, maka tuntut ilmu dulu adalah wajib bagi kita sampai batas yg tak hingga. Setelah itu, jika diperlukan, baru kita masuk kedalam permasalahan yg menyangkut fitnah dll.

Maka, perlu kita pahamkan terlebih dahulu posisi diri kita, yaitu sebagai tholabul ‘ilm, yg mana kebutuhan kita adalah menuentut ilmu din ini, bukan mencari-cari kesalahan orang lain atau para ustadz. Para ustadz adalah orang berilmu yg mulia di sisi Allah, maka kita diperintahkan untuk hormat kepada mereka, mengambil ilmu dari padanya, menutup aib-aibnya (jika kita tau aibnya).

Adapun pertikaian di antara mereka adalah dilakukan dalam keadaan/posisi mereka sebagai orang yg berilmu, guru, ustadz, orang ‘alim. Mereka berdebat/berbeda pendapat dengan di dasari ilmu. Sedangkan kita, adalah orang yg jauh dari kemampuan mereka.
Oleh karena itu, saya, saudara-saudariku semuanya hendaknya terus semangat dalam menuntut ilmu agama ini. Mudah-mudahan bisa jadi pelajaran.

Wallahu a’lam bi showab
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh.